Valuasi: sebuah sudut pandang dari sisi ‘stick and carrot’


Selamat petang…

Kembali ke artikel awal: Trading untuk Pemula

Perhatikanlah gambar ini baik-baik.  Gambar ini adalah sebuah permainan yang disebut sebagai ‘stick and carrot’.  Keledai katanya niy, adalah sebuah mahluk yang paling bodoh.  Paling sulit untuk dimotivasi.  Jika seorang  penunggang (‘Sang Sutradara’)  ingin membuat seekor keledai bergerak maju,

maka penunggang ini harus mengikatkan wortel (carrot) kepada sebuah tongkat (stick), dan kemudian melambaikannya di depan keledai tersebut.  Keledai tersebut akan bergerak maju, karena berpikir dia bisa mencapai carrot.  Sang Sutradara tinggal menjaga agar carrot terus berada didepan keledai dan tidak termakan oleh keledai tersebut.

Saya jadi teringat, hubungan antara rata-rata valuasi, dengan pergerakan harga saham.  Yang pertama adalah saham yang baik.  Yang berfundamental bagus, yang pergerakan harganya normal.  Penggeraknnya adalah pasar murni.  Kondisi valuasi vs harga saham bakal seperti yang ada di gambar dibawah ini:

Anda bisa lihat kan… harga saham bergerak naik atau turun.  Ketika harga saham bergerak naik, harga saham akan menyentuh valuasinya.  Ketika saham fully valued (tervaluasi penuh) harga kemudian turun dibawah valuasinya.  Ketika harga sudah turun cukup signifikan, orang yang berminat untuk beli, kembali melakukan posisi beli.  Harga kemudian bergerak naik lagi, menuju valuasinya.  Kondisi ini terjadi terus menerus dan berulang-ulang.  Anda lihat gambar di bawahnya, dimana itu adalah spread (selisih) antara harga saham, dengan rata-rata valuasinya.  Anda bisa melihat bahwa harga saham kadang undervalue (berada dibawah titik nol) dan terkadang juga over value (diatas titik nol).  Harga terus bergerak dinamis, seiring dengan pergerakan pasar.

Problem kemudian muncul kepada saham yang sering saya sebut sebagai ‘non-fundamental stocks’.  Saya menyebutnya dengan saham yang jahat.  Saham dimana pemiliknya lebih menggunakan saham sebagai alat untuk mengeruk likuiditas dari pasar.  Pemilik ini kemudian menggunakan angka-angka perusahaan, menggunakan alat-alat fundamental, menggunakan valuasi sebagai carrotnya.  Anda bisa lihat kejadiannya di bawah ini:

Harga saham akan selalu terjaga, untuk bergerak dibawah rata-rata valuasinya.  Tidak ada minat pemodal ‘rasional’ untuk melakukan posisi beli.   Pemodal yang masuk hanya pemodal yang emosional, yang memandang berita-berita yang mengalir, dan juga valuasinya, sebagai alasan untuk melakukan posisi beli.  Pemodal seakan dibuat selalu memandang ke langit.  Memandang ke atas.  Valuasi serasa seperti sebuah carrot yang tidak pernah tercapai.  Yang selalu diayun-ayun ke atas oleh Sang Aktor, yang tidak berharap pemodal itu tidak melakukan posisi jual.. sampai….

Sebuah mobil menabrak keledai tersebut.  Pemodal terkena forced sell.  Tragis.

Hehehe… saya jadi teringat beberapa bulan yang lalu.  Ada seorang analis senior yang ‘sok bisa fundamental padahal ekonom’ melakukan kampanye penghasutan mengenai jeleknya analis teknikal.  Analis ini sebenarnya saya golongkan sebagai seorang yang sangat ‘bego”, sehingga pada dasarnya, pendapat dia selalu saya artikan sebagai sebaliknya.  Ketika dia bilang beli, berarti itu saat saya untuk jualan.  Ketika dia rekomen jual, berarti saya malah mengambil posisi beli.  Ketika dia berpendapat bahwa seorang pemodal sebaiknya hanya mengandalkan 100% fundamental… saya cuman berpikir: ooh… berarti orang itu memang belum berubah.  Masih tetap dalam ‘kecerdasan’ yang sebelumnya.

Ketika kondisi pasar seperti ini, saya jadi teringat oleh dia.  Bagaimana bisa kita trading atau investasi dengan hanya mengandalkan 100% fundamental? Anda tanya deh sama orang-orang yang hari ini kena forced sell.  Apakah benar saham yang anda pegang telah mengalami perubahan fundamental yang mendasar? Perubahan fundamental yang membuat seorang pemodal harus melakukan posisi jual?  Dulu.. ketika BUMI turun dari 8000 ke 400.  Apakah ada perubahan fundamental yang berarti?

Valuasi itu, kelakuannya seperti model yang saya perlihatkan diatas:  Ketika valuasi dilakukan pada saham yang ‘baik’, yang tidak hanya berfundamental bagus, tapi juga ada di bursa untuk ‘meningkatkan value perusahaan dengan bersama-sama meningkatkan kesejahteraan pemegang sahamnya’.  Maka valuasi bisa digunakan sebagai alat untuk alasan dari orang untuk melakukan beli jual saham.   Akan tetapi, pada saham yang ‘jahat’, dimana pemilik perusahaannya hanya perduli pada kesejahteraan dirinya, valuasi hanya berfungsi sebagai ‘carrot’… fatamorgana yang tidak bisa disentuh dan dicapai.  Pada saham yang jahat, valuasi adalah carrotnya, dan pemodal yang beli, adalah (maaf) keledainya.

Anda mau jadi keledai?

Saya tidak mau jadi keledai.  Oleh sebab itu, saya tidak mau menggunakan 100% fundamental sebagai pertimbangan saya melakukan beli jual saham.

Terakhir… berikut ini adalah beberapa hal yang menurut saya harus dilakukan oleh seorang trader yang bertanggung jawab:

  1. Perhatikan arah pergerakan harga, prediksi arah pergerakan harga.
  2. Beli ketika mau naik, jual ketika mau turun
  3. Saham, dengan P/E Ratio sekecil apapun dan dengan berita sebagus apapun, bukanlah sesuatu yang menarik jika saham tersebut masih memiliki potensi koreksi yang signifikan.
  4. Transaksi dengan prediksi sendiri.  Gunakan prediksi orang lain sebagai referensi.  Jangan gunakan prediksi orang lain karena preferensi resiko dari setiap orang, bisa jadi memang berbeda.

Masih banyak lagi sih… tapi sementara… itu dulu deh..

Happy trading… semoga untung!!!

Satrio Utomo

Kembali ke artikel awal: Trading untuk Pemula

Comments
6 Responses to “Valuasi: sebuah sudut pandang dari sisi ‘stick and carrot’”
  1. alexander saogie says:

    Pak Tommy…,
    Apakah bapak mau mengatakan bahwa kita baru bisa open buy, apabila trendnya UPTREND atau price telah crossing pada DOWNTREND LINE nya……Terimakasih pak

    • Satrio Utomo says:

      Bung Alex…

      Apakah bapak mau mengatakan bahwa kita baru bisa open buy, apabila trendnya UPTREND –> bukan.. kita bisa open buy… apabila dalam sebuah trend turun, tiba-tiba ada penembusan resisten. Itupun strateginya ada dua: beli dengan strategi normal, atau dengan strategi contrarian. Lihat tulisan saya di trading strategi deh…

      Apakah bapak mau mengatakan bahwa kita baru bisa open buy, apabila price telah crossing pada DOWNTREND LINE nya…… —> Ini juga enggak… kalau nunggu downtrend tembus, harga sudah ketinggian.. terutama kalau downtrendnya curam.

      Wassalam,
      Satrio

  2. arai says:

    Hahaha jadi teringat film ‘The Wolf of Wall Street’

  3. parta says:

    Bung Tommy, thd saham2 excecutive apakah tepat bila kita beli tanpa harus dipasang stop loss?

    • Satrio Utomo says:

      Bung Parta…

      Kita tetap harus lihat arah pergerakannya seperti apa.. tetap harus melihat.. trading plan kita seperti apa.

      Trading tanpa stoploss pada saham gerbong eksekutif itu, hanya kalau kita yakin bahwa IHSG untuk jangka menengah – panjang masih bisa bergerak naik secara signifikan, dan kita yakin bahwa sektor dari saham executive tersebut, masih akan terus diminati oleh pelaku pasar.

      Sebagai contoh begini: kalau saya melihat ASII bakal ditinggalkan oleh investor karena kebijakan angkutan umum dari Jokowi… ya kalau ASII mau turun barang 10%.. menidngan saya pake stoploss..

      Wassalam,
      Satrio

Trackbacks
Check out what others are saying...


Leave a comment

  • Top Posts

  • Visit Website of Our Visitors